Monday, July 19, 2021

brain dump: how the pandemic affects me

this might be the first time i wrote anything about this pandemic. bahkan seblm pandemi ini mulai di indo, temen2 udh pada pesimis pemerintah bisa mengatasi pandemi ini secpt mungkin. dg jumlah penduduk banyak, lokasi yg tersebar ga merata, terpisah lautan, dan juga tingkat pendidikan yg ga sama rata. belum lg dg banyaknya berita hoax di sana sini yg malah lbh santer dan cpt tersebar luas dibanding kebenaran ilmiah. setahun berjalan somehow pandemi spt tertahan. aku sdh bilang berulang kali, kemgknan kenyataannya lbh parah, tp tidak diungkap di media. banyak temen sejawat sdh melihat beda angka yg dipajang di medsos dg kenyataan di tempat kerja masing2. tidak meratanya fasilitas kesehatan, bahkan ada bbrp tmp di pedalaman yg ga punya PCR. cuma mengandalkan rapid antibodi. tdk ada rumah sakit besar, atau pun kalo ada harus menempuh perjalanan sekian lama utk mencapai rumah sakit. blm lagi opsi lockdown yg berkali-kali hanya omong doang, tdk dilaksanakan atau cuma ala kadarnya, tdk ada gunanya sama sekali. 

bakalan panjang kalo ngmg soal birokrasi. blm lagi carut marut pegawai pemerintahan. ga akan ada selesainya. setahun awal nakes sdh sempat merasakan dampak pasca libur panjang lebaran dan akhir tahun. peningkatan pesat jumlah kasus membuat rumah sakit penuh. membludak. susah cari obat. tapi dengan vaksinasi membuat nakes kembali semangat melawan. tapi tidak ada kesadaran dr masyarakat hingga sekarang muncul varian delta yang lbh virulen. otomatis penyebaran lbh gampang. ditambah dg motto bangsa "mangan ra mangan asal kumpul" plus masker yg hobi diplorotkan. sudahlah, kebohongan sdh tdk bisa ditutupi lagi. kasus meningkat pesat. rumah sakit semua penuh. bahkan nomor antrian sekian panjang sampai tdk terpikir lagi kok bisa spt itu. blm lagi krisis oksigen. obat. 

org2 yg panik dengan mudahnya memborong semua yg diblg dapat membantu mencegah covid, tanpa ingat dr awal sudah diingatkan, masker. jaga jarak. tapi semua milih mengabaikan dua hal utama. memilih menimbun obat, oksigen, dan mencoba segala terapi yg katanya berguna. lupa mencegah lbh baik drpd mengobati. skrg tdk cuma yg sakit covid yg kena dampaknya. org yg perlu cuci darah. org yg mau melahirkan. vaksinasi anak. org yg kecelakaan. semua terdampak. mau ke rumah sakit semua penuh. semua terisi pasien covid. rumah sakit jd tmp penularan. 

satu persatu tenaga di rumah sakit dan fasilitas kesehatan tumbang. pemerintah dg enaknya sesumbar menambah jumlah kamar, jumlah rumah sakit darurat, jumlah peralatan untuk isolasi mandiri. tanpa ingat bahwa nakesnya ini manusia yg ga bisa dicopy paste. muncullah komplain pasien tdk tertangani, ditelantarkan. nakes lagi jadi sasaran, katanya mengcovidkan pasien tp tdk mau menangani. apa yg mau ditangani? tangan kami hanya dua. kaki kami hanya dua. nafas kami juga bisa ada habisnya. vaksinasi yg kmrn didapat bagai tameng yg skrg sdh compang camping diserbu hantaman pasien yg datang bertubi tiada habisnya. 

yg tidak di rumah sakit berusaha menahan bendungan pasien. menawarkan konsultasi virtual untuk pasien isoman. agar kondisi mereka tdk memburuk. agar mrk tdk sampai ke rumah sakit. untuk mengurangi beban teman sejawat di faskes rujukan. tapi apa daya juga? yg di rumah tidak selalu punya fasilitas untuk monitoring. sekedar termometer dan oksimeter tdk ada. jgn bilang obat. obat saja hrs berebut dan antri, entah brp hari lagi baru dapat. blm lagi saat saturasi sdh turun. cari kamar susah. kami pun tdk pny kuasa untuk memaksa teman sejawat menyediakan tempat untuk semua pasien isoman. satu persatu berita pasien isoman meninggal bermunculan. geram rasanya tdk bisa berbuat lebih untuk mereka. tp apa daya kami? tangan kami tdk bisa ke mana2. kami tdk bisa menciptakan obat untuk mereka minum hari itu. tdk bisa menyediakan oksigen yg mereka butuhkan. 

blm lagi saat istirahat. bukannya mendapat ketenangan, isi medsos kami penuh dengan berita teman sejawat, senior kami sakit. butuh donor plasma. satu persatu meninggal. mungkin tdk semuanya aku kenal. bahkan mgkn dulu aku juga tdk dekat dg mereka. jengkel dg mereka karena mereka mendapat priviledge sebagai keluarga dokter sedangkan aku di sini hanya rakyat jelata. tapi sedih hancur skrg melihat, mendengar informasi mereka sakit. dirawat. butuh donor menandakan kondisi mereka tdk baik.

saat ini sampai aku tdk tahu hrs menyebut nama siapa saat ditanya lebih baik konsul ke siapa? aku sdh tdk tau lagi siapa yg masih selamat. siapa yg masih praktek. siapa yg isoman. siapa yg sdh meninggal. masih banyak dokter. iya mgkn masih banyak. tp yg pny pengalaman dan ilmu setinggi mereka tdk sama jumlahnya. biar bagaimanapun mereka senior kami. kakak kls kami. jam terbangnya lbh banyak. pasien mereka lbh banyak. kalo mereka tdk ada, ke mana kami bertanya? menunggu pengalaman kami sebanyak mereka tdk secepat mata berkedip. 

at this moment, i feel helpless. i might not be their family, but i feel the despair. i feel the sadness. biarpun status kami tdk sama, biar gimana juga mereka jg melewati hal yang sama. sekolah 6 tahun. praktek di rumah sakit. jaga malam. makan makanan jatah. sama2 kena damprat senior. sama2 tidur geletakan saat jaga. we took the same oath. we promised we would call them our family. and now my family is hurt. one by one i lost my family member. kami yg notabene dokter, kami bahkan tdk bisa menyelamatkan nyawa sejawat kami. senior kami. i just hope we could get through this. at the end, i hope i can see some familiar faces. i can still hear some familiar names. 

No comments:

Post a Comment